Sebuah Perjalanan dan Penebusan Rindu
- Meivi Agung Pratama
- Oct 9, 2020
- 8 min read

Sepulang kerja sekitar pukul 8 malam aku memutuskan pergi ke apartemen dimana pacarku tinggal, diperjalanan aku berhenti untuk membeli 2 porsi sate taican dan minuman kesukaannya hazelnut chocolate milk tea nya chatime. Aku ingin membayar tuntas rindu yang selama ini membendung akibat kesibukan kami dalam pekerjaan masing-masing. Sengaja aku tak memberi kabar bahwa aku akan datang ke tempatnya, berharap ia terkejut dan senang melihat kedatanganku. Setelah kendaraanku terparkir, aku bergegas ke kamarnya, aku langsung membuka pintu kamarnya kebiasaan burukku yang tak pernah mengetuk pintu. Sekejap jantungku serasa berhenti berbarengan dengan pandangan mataku yang melihat seorang lelaki yang berbaring dan menempatkan kepalanya tepat diatas pangkuan paha perempuan. Lelaki itu adalah Reza kenalanku sewaktu kuliah dan perempuan itu adalah Dinna pacarku. “itu adalah ingatanku yang sering muncul selama beberapa tahun, ingatan itu menyiksaku setiap sebelum tidur atau setelah ku terbangun dari tidur.
"Cerita Dimas, lelaki 28 tahun di 2020 ini dengan ingatan masa lalunya di tahun 2013"
Semua bermula pada masa SMA, aku mengenal Dinna perempuan yang membuatku memutuskan untuk memulai sebuah hubungan yang serius. Dinna adalah teman seangkatanku, aku pertama kali mengenalnya saat kami berdua sama sama dihukum akibat terlambat masuk sekolah, perkenalan kami pun berlanjut terus sampai akhirnya pada saat kelas 2 SMA kami pun jadian. Perjalan kami benar benar penuh perjuangan. Dinna perempuan yang berhasil mengisi kerinduanku akan hadirnya sosok seorang ibu, Dinna benar-benar membuat hidupku menjadi lebih baik. Setelah kita lulus SMA, Dinna memutuskan untuk kerja, sedangkan aku mendaftar kuliah sambil bekerja. Kami saling support, aku yang membantu Dinna menyiapkan semua persyaratan untuk melamar kerjanya, dan Dinna pun membantuku belajar agar lulus pendaftaran kuliah.
Dalam waktu kurang lebih 2 tahun, Dinna sukses dengan karirnya dan naik jabatan, sedangkan aku kesulitan mengatur waktu kuliahku di pagi hari dan waktu bekerja ku sepulang kuliah. Selama 2 tahun kami sibuk dengan pekerjaan masing masing, kami berdua mulai sulit meluangkan waktu untuk bertemu. Dinna selalu mengeluh karna aku yang jarang mengabari, sejak dulu aku tidak terlalu suka chattingan, aku lebih suka bertemu dan ngobrol langsung ketibang telefonan atau chattingan. Semenjak kami sibuk kami sering mengalami miss komunikasi yang pada akhirnya membuat kami saling bertengkar karena masalah sepele. Pada saat ujian semester aku sama sekali tidak menghubungi Dinna, chat dari dia pun tak aku balas. Setelah ujian selesai, aku memutuskan untuk mengunjungi Dinna sepulang kerja. Namun saat aku sampai di apartemannya, aku melihat kejadian yang membuatku tidak bisa berkata apa apa dan membuat hatiku terasa benar benar sakit. Aku melihat teman kuliahku sedang bersama Dinna bermesraan. Aku melihat Dinna mengkhianatiku.
Hampir selama kurang lebih 4 tahun semenjak kejadian itu, aku masih bertanya kepada diriku sendiri, apakah aku membencinya setelah kejadian itu? Apakah aku membenci seorang perempuan yang pernah berjuang bersamaku lalu mengkhianatiku? Jawabanku saat itu tentu saja aku sangat membencinya, aku marah, aku kecewa, aku sakit, aku sedih, aku dendam!
Aku bertanya kenapa kamu melakukan hal ini, kenapa kamu buat aku kayak ini? Namun pertanyaan itu hanya muncul di benakku saja dan tak pernah terucap langsung dari mulutku. Aku hanya ingin pergi dan tak ingin kembali merasakan sakit hati ini. Aku tak ingin mendengar apapun yang terucap darimu, aku tak mau lagi peduli dengamnu. Aku hanya ingin pergi, aku pergi dengan menutup mata, hati dan telinga, berharap aku tenang dengan tidak melihat dan mendengar apapun tentangmu.
Namun pada kenyataannya, pergi tak semudah yang aku pikirkan. Dalam setiap perjalanan ingatan itu selalu muncul dan menghantuiku, mengganggu seisi pikiranku dan mengoyak ngoyak hatiku. Setiap ingatan itu timbul dalam benakku, pertanyaan dalam diriku pun selalu datang menyusul setelah ingatan itu, pertanyaan itu tentang kenapa kamu melakukan hal itu, apa yang salah denganku? Aku merasa sudah berusaha membuatmu bahagia?
Aku mencoba menghabiskan waktuku dengan teman, menyibukan diri di kantor, lalu tidur seharian penuh di hari libur akibat malamnya terlalu banyak meneguk alkohol. Kurang lebih selama 4 tahun aku menjalani hidup seperti ini. Perjalanan yang terasa tak ada habisnya, monoton, aku hidup tapi tak merasa hidup. Semakin hari benci dan dendam semakin menumpuk dalam diriku. “Udah sob ikhlasin aja lupain, move on lah, masih banyak ko cewek diluar sana”, atau “Bro cari kegiatanlah biar ga kepikiran terus, olahraga gih siapa tau ketemu cewek baru kan” itu yang terucap dari beberapa temanku yang berusaha memberikan nasihat untuk melupakan apa yang aku alami dan menyuruhku untuk mulai membuka hati untuk hal baru. Aku mendengarkan apa yang temanku katakan tapi aku tak melakukan apa yang disarankan temanku, bukannya aku tak mau berusaha, hanya saja mereka tak tahu bahwa aku pun ingin sekali berusaha melupakannya dan mencoba memulai kehidupan yang baru.
Akibat pola hidupku yang kacau, sekitar pertengahan 2016 aku jatuh sakit, dadaku menahan sesak selama seminggu. Saat aku sedang nongkrong dengan temanku tiba tiba jantungku sakit serasa dipaksa berhenti, dadaku sesak, tubuhku seketika lemas dan bibir sulit berbicara, dan akhirnya aku dibawa ke IGD oleh temanku. Aku di tes dengan alat Elektrokardiogram (EKG) sebuat alat tes sederhana untuk mengukur dan merekam aktivitas listrik jantung, tes ini menggunakan mesin pendeteksi impuls listrik yang disebut elektrokardiograf dan akan menerjemahkan impuls listrik menjadi sebuah grafik. Setelah hasil tes tersebut keluar, dokter jaga di IGD memasangkan oksigen dan menyuruhku untuk rawat inap, dokter menuliskan STEMI di dalam kolom diagnosa. STEMI adalah singkatan dari ST-elevation myocardial infarction. STEMI adalah salah satu jenis serangan jantung yang sangat serius dimana salah satu arteri utama jantung (arteri yang memasok oksigen dan darah yang kaya nutrisi ke otot jantung) mengalami penyumbatan. Aku dipasang bedside monitor sebuah alat yang digunakan untuk memonitor vital sign pasien, berupa detak jantung, nadi, tekanan darah, temperatur bentuk pulsa jantung secara terus menerus. Aku di rawat di ruang ICCU (Intensive Cardiologi Care Unit) sebuah ruangan yang dikhususkan melayani perawatan pasien kritis dewasa yang mengalami gangguan pada jantung. Awalnya aku menolak karena aku merasa tidak perlu dimasukan ke ruang intensive, tapi jika aku menolak aku harus menandatangani surat penolakan perawatan diatas materai.
Malam pertama aku dirawat di ruang ICCU, tepat disebelahku aku menyaksikan seorang kakek yang menghembuskan nafas terakhirnya, aku sangat syok karena sejam sebelumnya kami sempat mengobrol dan aku melihat bahwa kakek itu baik baik saja. Aku tak bisa tidur dan pikiran tentang kejadian memuakan itu muncul kembali, bukan hanya itu kejadian pasien di sebelahku pun memperburuk seluruh isi pikiranku. Tiba tiba muncul bayangan wajah perempuan yang sedang tersenyum melihat ke arahku, aku merasa tenang ketika bayangan wajah perempuan itu muncul dibenakku. Itu adalah wajah Dinna yang sedang tersenyum ke arahku, tatapan mata khasnya, senyum dengan gigi taring gingsulnya yang membuatnya begitu manis. Aku merenung dan hayut kedalam liarnya pikiranku dan akhirnya disitu aku mulai menyadari bahwa selama ini bukan hanya benci dan dendam yang tumbuh di dalam diriku, namun diam diam rindu pun tumbuh subur di dalam diriku. Jadi sebenarnya selama ini aku itu membencinya atau merindukannya? Sebelum kakek disampingku meninggal kami sempat mengobrol dan tiba tiba aku teringat oleh sebuah kalimat yang kakek itu ucapkan, “Nak lebih baik bertanya jika kamu ingin tahu jawaban, jangan sampai menyesal karena tidak pernah mendapatkan jawab dari pertanyaan yang tak pernah terlontar”. Seketika aku teringat bahwa aku mempunyai pertanyaaan yang selalu muncul itu. “Terimakasih kek, semoga kau tenang dialam sana” ucapku dalam hati sambil berdoa untuk kakek itu.
Setelah aku pulih, aku merasa lebih tenang namun perasaanku tak karuan karena pikiran pikiran yang sebelumnya menaburkan benci dan dendam kini bercampur dangan rindu yang menenangkan. Ingatan lain pun bermunculan, ingatan dimana masa masa kita memulai perjuangan bersama, ingatan manis yang kami lewati bersama, ingatan tentang aku dan Dinna. Selama setahun aku mencoba mencari tahu kabar dimana perempuan yang dulu pernah berjuang bersamaku sekaligus perempuan yang membuatku merasa hancur. Aku hanya ingin berusaha jujur bahwa ternyata selama ini aku memendam pertanyaan yang selalu ingin aku lontarkan kepadanya, aku ingin mendengar jawabanya langsung darinya, dari perempuan yang memupuk benci, dendam dan rindu ini.
Dan akhirnya semesta berbaik hati mempertemukan kami, di dalam sebuah parkiran mall saat aku akan meeting di sebuah café di dalam mall, jujur saat itu aku syok, begitupun dengan ekspresi wajahnya yang terlihat begitu kaget. “Dinna?” aku menyapanya duluan. “Dimas!” jawabnya dengan ekspresi yang kaget. Di dalam hatiku aku sangat ingin menanyakan bagaimana kabarnya saat ini, namun sepertinya dia sedang terburu buru. Lalu aku mencoba meminta kontaknya dan ia pun memberikannya. Kami tak berbincang lama karena aku pun harus segera meeting dengan klien.
Setelah mendapatkan kontaknya keesokan harinya aku berusaha memberanikan diri dengan mengirim pesan chat. Selama seminggu kami berkomunikasi dan akhirnya aku mengajaknya bertemu untuk mengobrol langsung, dia setuju dan mengiyakan ajakanku. Kami bertemu di sebuah kafe kecil di selatan Jakarta. Kami berdua saling jujur dan bercerita, pertanyaanku yang selama ini terpendam akhirnya terjawab. Aku mendengarkan seluruh ceritanya, dan aku mencoba memahami sudut pandangnya dalam kejadian kami di 2013 itu. “Dimas aku jujur, pada saat itu aku benar benar bingung, aku lagi banyak masalah di kantor, aku coba hubungin kamu, aku coba telfonin kamu, karna aku lagi bener bener butuh kamu Dim. Waktu itu aku dituduh mengubah anggaran pembelanjaan kantor untuk kepentingan diri sendiri, dan aku butuh kamu buat support aku, aku bingun harus minta bantuan siapa Dim.” Terang Dinna. “Dan waktu itu memang sebuah kebetulan Reza berada disitu, sebenarnya sudah lama Reza sering menghubungiku, semenjak pertama kali kamu ngajak aku ke kampus dan kamu ngenalin aku sama temen temen kampusmu termasuk Reza, tapi aku gak pernah ladenin Reza sebelumnya Dim. Di hari itu dia kebetulan liat aku lagi nangis sambil jalan ke apartemenku, karena pikiranku waktu itu lagi kacau aku ajak dia ke apartemen untuk dengerin ceritaku, Cuma itu Dim.” Jelasnya saat aku bertanya kenapa Reza bisa ada di apartemennya. Aku tidak menanyakan lebih jauh tentang Reza karena aku sepertinya sudah lebih tau siapa Reza, aku tidak terlalu menyalahkan Dinna tentang ini. Di kampusku Reza memang dicap sebagai teman yang brengsek. Setelah mendengar semuanya aku akhrinya tersadar beberapa hal, aku pun memiliki kesalahan pada hubungan kami sebelumnya, aku sadar akan sikapku yang egois tak mau berkompromi dan sulit mendengarkan tanpa membantah, aku tidak ada saat Dinna benar benar membutuhkan suportku. Dinna berkata setelah kejadian itu ia terus mencari dimana aku, terus mencoba menghubungiku, tapi aku memblokir seluruh komunikasiku dengannya dan dengan teman temannya juga. “Aku semakin hancur dim, aku menyalahkan diriku sendiri atas kejadian itu, aku bener bener jatuh, aku tau Cuma kamu yang bisa bantu aku bangkit lagi dim, tapi kamu kemana kamu malah pergi tanpa mau denger penjelasan aku.” Dinna bercerita tentang yang ia rasakan saat itu.
Setelah mengobrol dan melepaskan tentang semuanya aku benar benar lega, hati dan pikiran yang selama ini menggangguku sudah pergi dan menghilang bersamaan dengan terjawabnya pertanyaan tentang kejadian malam itu di tahun 2013. Sebuah perjalanan yang panjang dalam pelarianku yang justru malah membuatku tenggelam, tersesat dan hilang arah. Sebuah kepergian abadi membuatku tersadar, aku mengerti akan perkataan “jangan sampai menyesal karena tidak pernah mendapatkan jawab dari pertanyaan yang tak pernah terlontar”, aku mengerti dendam dan rindu harus dibayar tuntas, dan jawaban dari sebuah pertanyaanlah yang akan membayarnya. Pertanyaan yang sebelumnya muncul apakah sebenarnya aku membenci perempuan itu atau malah merindukannya itu, ternyata jawabannya adalah aku merindukannya karena aku masih mencintainya. Sakit yang selama ini aku rasakan ternyata dirasakannya juga, aku merasa bahwa aku yang paling tersakiti, namun kenyataannya kami sama sama menyakiti, kami sama sama membenci dan kami sama sama merindukan. Akhirnya aku berani meminta maaf dan berani memaafkan, kami berdua sama sama sudah saling memaafkan. Aku berfikir aku sudah bisa bangkit kembali, bukan hanya aku tapi Dinna, sepertinya kami bisa memulainya lagi dan memperbaiki semuanya kesalahan yang pernah terjadi.
Sekitar dua bulan setelah pertemuan itu dia memberiku kabar bahwa ia akan menikah. Ia bercerita sudah tunangan 8 bulan sebelumnya. Dia mengajaku bertemu sambil menikmati kopi di sebuah kedai kopi kecil. Dia menceritakan banyak hal yang dilalui setelah aku pergi dan menceritakan sosok lelaki yang akan menikahi dirinya. Aku pun menceritakan kegitanku selama ini tapi aku sadar, di dalam obrolan ini Dinna adalah bintang tamunya dan aku akan menyediakan panggung untuknya bercerita, aku berusaha mendengarkannya dengan penuh antusias dan sedikit bercerita tentang kehidupanku. Aku tahu aku patah hati lagi, namun kali ini aku lega, karena aku tidak mempunyai pertanyaan lagi terlebih segala benci, dendam dan rindu yang tumbuh selama bertahun itu sudah hilang terbayar tuntas. Aku berterima kasih kepadanya dan kepada semesta yang telah memberikanku kesempatan untuk melakukan sebuah perjalanan panjang dalam penebusan rindu. “Aku sayang kamu Dinna!” ucapku dalam hati.
Comments