Wayang? Moderen? Yakali!!
- Ras Ibnu Rachman
- Nov 17, 2020
- 3 min read
Tayangan yang menghibur jadi idaman banyak orang. Dari mulai komedi yang merekahkan tawa, tragedi yang menegangkan, pembelajaran hidup yang bermanfaat, hingga kesedihan yang menyayat. Generasi kini dapat mengaksesnya dari banyak media untuk mendapatkan tayangan tersebut. Buku-buku yang menjual berbagai macam cerita telah sangat banyak beredar, begitupun dengan media-media yang dapat dengan mudah dan murah dapat diakses lewat internet untuk mendapatkan tayangan yang diinginkan.
Akan tetapi, apakah banyak kalangan muda yang menjadikan wayang sebagai tayangan favoritnya?
Tidak masalah jika tidak menjadikan wayang sebagai yang terfavorit. Yang menjadi masalah adalah ketika wayang dianggap produk kampungan, konsumsi orang-orang zaman lampau, atau jika dianggap tidak sesuai dengan kriteria anak muda masa kini.
Kita buat sebuah perbandingan, Jika sebuah hasil karya pemikiran dibuat dimasa lampau, apakah akan tidak berlaku di masa selanjutnya?
Semisal matematika yang telah berumur ribuan tahun dan menggunakan simbol-simbol yang diambil dari abjad Yunani yang telah berusia ribuan tahun pula, apakah membuat matematika tidak sesuai dengan kriteria anak muda masa kini? Tentu tidak!
Merasa jumawa karena memiliki selera tontonan yang mereka sebut moderen sambil menganggap wayang adalah kuno hanya karena melihat dari satu sudut pandang saja adalah sikap yang tidak bijaksana. “Nampak tradisional” membuat orang berpikir demikian. Miskonsepsi yang berbahaya “tradisional berarti tertinggal” yang padahal kebenaran kalimat itu sangat tergantung dimensi ruang dan waktu.
Bukan berarti secara keseluruhan, namun mayoritas tontonan masa kini hanya menampilkan aspek asmara murah yang sudah pasti menyerang banyak kalangan muda secara umum. Melemahkan mental dengan insting-insting ‘tak jantan. Menenggelamkannya ke dalam duka ditengah malam dan menghambat pernafasannya dengan hal-hal yang tidak rasional. Atau tontonan yang memfokuskan bagaimana mendapatkan uang dengan sebanyak-banyaknya tanpa peduli bagaimana cara mendapatkannya, sekalipun lewat perjudian atau menjadi pialang saham dengan kemampuan menipu yang luar biasa. Menjadikan kriminal tampak keren di mata penontonnya. Satu-satunya kebaikan yang dapat diambil dari tontonan semacam itu adalah ketika pemeran berhenti berduka karena cinta yang tak tertolong dan ketika si kriminal menyesali perbuatannya walau dalam penjara.
Cukup meyakinkan untuk berkata bahwa dibanding tontonan yang ada di masa sekarang, wayang menyajikan jauh lebih banyak kebijaksanaan. Dengan modulasi frekuensi moral yang konsisten. Tidak dengan modulasi amplitudo yang naik turun ke arah dan tawa saja. Memperkenalkan semiotika, retorika, dan pemahaman filosofis yang terkadang hanya bisa dinikmati kalangan yang beruntung untuk sekolah.
Apakah anda mengira bahwa ini adalah bualan?
Mari kita uraikan sedikit tentang sebuah tokoh dalam wayang, Semar Badranaya.
Dalam kisah Mahabrata, tidak ada Tokoh Semar. Tokoh ini baru dibuat saat wayang berkembang di tanah Jawa. Semar merupakan tokoh tua yang jenaka, bijak, sedikit tempramental di satu waktu namun penyabar di waktu yang lain. Memiliki perut buncit, berkulit hitam namun wajahnya putih bersih,hanya tersisa gigi seri di rongga mulutnya, dan wajahnya selalu tersenyum. Sedikit menyeramkan? Absurd?
Semar tidak menjual dirinya secara visual. Dia hadir untuk dibaca. Kulit hitam legam namun wajahnya sangat putih serta selalu tersenyum merupakan gambaran hati. Tentu saja wajah adalah cerminan hati. Dalam fisik yang tidak menarik secara seksual pun hati harus selalu bersih dari sifat buruk. Wajah semar yang selalu tersenyum merupakan simbol yang mengisyaratkan agar kita selalu bersyukur apapun keadaannya. Selalu menganggap bahwa hidup adalah hal yang patut dirayakan bagaimanapun dinamikanya. Gigi yang sedikit menggambarkan “henteu loba ngahuntu” yang artinya “berbicara jika yang dibicarakan adalah baik, diam jika yang dibicarakan adalah buruk”.
Itu hanya sedikit bagian tubuh Semar yang menasehati. Dan itu, baru dari Semar, belum dari tokoh lain yang tentunya terdapat pesan dari setiap anggota tubuhnya maupun dari perkataannya.
Bayangkan betapa menyenangkannya saat setelah menonton wayang lalu anda memiliki bekal kemampuan abstraksi yang luar biasa. Otak dan hati anda akan dijejali dengan nilai-nilai kebaikan.
Semua pihak diuntungkan oleh wayang dalam sisi moral. Ruang kelas teologi, filsafat, politik, sosial, dan budaya yang tidak membosankan, lebih atraktif dari ruang kelas pada umumnya.
Pedulilah pada hal ini. Hanya dengan mau membuka mata dan menyimpan simpati pada seni wayang maka anda dapat mempertahankannya, meregenerasinya. Ini tidak sesulit menyelamatkan sisa-sisa peradaban dalam bentuk fisik yang memerlukan biaya dan tenaga perawatan yang sangat besar, beresiko lapuk oleh oksidasi dan tangan-tangan tak peduli. Wayang tak hanya sekedar monumen, tapi sebuah aula kebijaksanaan dan moral yang megah.
Sedikit pesan untuk anda, yang tidak memfavoritkan si pemberi pesan:
"Paingan ceuk hariring nya, Cu.
Abong keneh hariring lain nu kuring.
Haleuang lain nu urang.
Sabab hariring teh gening nu Maha Wening.
Haleuang nu Maha Wenang.
Ceuk Hariring ‘tong sok waka suka seuri mun ‘can manggih jati diri."
-Semar Badranaya
Comments