top of page

Aku Bohong, Demi Kebaikanmu

  • Ras Ibnu Rachman
  • Nov 5, 2020
  • 3 min read

Picture - Francesca Zama (Pexels)

Seorang pemikir ternama berkata ”nilai itu benar atau salah, Informasi itu benar atau bohong, tidak ditentukan oleh dampaknya kemudian tetapi oleh niatannya”.


Apa yang salah atau benar dalam kalimat itu? Kita coba untuk sedikit mempretelinya dan membuka ruang untuk diskusi.


Pernah berbohong demi kebaikan? Ya, tentu setiap orang pernah melakukannya. Seorang manusia menyemangati yang lainnya dengan berbohong. Seorang ayah membanggakan anaknya dengan kebohongan. Seorang guru mengajarkan kebijaksanaan dengan takhayul. Komedi menimbulkan tawa yang bersumber dari kebohongan.


Jika sebuah nilai ditentukan oleh niatnya saja tanpa mempedulikan dampaknya, maka contoh-contoh kebohongan putih yang disebutkan merupakan sebuah pelanggaran etika. Dilarang berbohong dalam bentuk apapun.


Pemikir inipun berkata bahwa setiap orang harus berbuat sesuai dengan kewajibannya. Jika rakyat, maka harus berperan sesuai Dengan kewajibannya sebagai rakyat. Maka dari itu, rakyat sebagai konstituen yang mana turut mengambil peran dalam penegakan hukum harus berkata sejujur mungkin mengenai sebuah keterangan kepada aparatur Negara, baik kepada aparatur ideologis maupun aparatur represif.


Kita buat ilustrasi yang diinspirasi dari berbagai sumber kehidupan sebagai berikut:


Anda adalah manusia beradab yang tinggal di dalam sebuah tatanan yang lalim. Lalu ada seorang yang kompeten, bergerak untuk memperbaiki tatanan yang rusak itu, yang tentu saja orang ini akan dianggap pemberontak. Orang ini diburu, masyarakat dibuat percaya bahwa orang ini adalah pemberontak dengan alasan yang biasa para tiran kumandangkan untuk mempertahankan kelanggengan kekuasaannya. Dalam pelariannya, orang ini mengetuk pintu rumah anda meminta tempat untuk bersembunyi. Tidak lama kemudian, muncul utusan tiran di depan pintu rumah anda, menanyakan seseorang yang cirinya persis seperti orang yang anda sembunyikan.


Jika anda beradab, sudah pasti anda akan bilang tidak tahu karena anda yang beradab pasti merindukan sebuah perubahan, mencintai kebijaksanaan yang tak mungkin akan anda lihat dari seorang tiran, dan menemukan cahaya harapan pada orang yang anda sembunyikan untuk melepaskan dahaga keadilan.


Namun, jika anda menganggap nilai benar atau salah berdasarkan niatnya, dan anda adalah seorang rakyat yang harus melaksanakan kewajiban anda terhadap tiran, maka anda harus menjawab ”Ya” atas pertanyaan si utusan tanpa ragu. Bahkan anda harus menuntun para utusan ini ketempat dimana anda menyembunyikan si pemberontak itu tanpa peduli mengenai kemanusiaan, keadilan yang mungkin akan tegak lewat pemberontak ini, bahkan tidak akan peduli bagaimana cara tiran ini mengeksekusinya.


Tragis. Cara pandang yang membuat seseorang menjadi biadab tanpa senjata.


Ini akan berbeda ketika pengambilan keputusan didasari dengan memikirkan dampak buruk yang lebih besar dan menyingkirkannya, kemudian mengambil resiko terkecil dalam tindakan. Aristoteles mengatakan dalam Etika Nikomakea bahwa kita harus berperang agar hidup dalam damai. Mungkin sebagian orang akan berpikir “mana mungkin ada dampak yang lebih besar kerugiannya dibandingkan perang? ”. cukup hayati kalimat ini, tanpa menelannya bulat-bulat, dan gunakan kaidahnya.


Perang! Maka kedamaian tercipta.

Tidak berperang berarti dijajah.


Perang tidak melulu soal menyerang, bertahan dari gempuran diatas benteng pun adalah perang.


Berbohong! Maka kebaikan tercipta.

Jujur! Maka ada hal yang ditumbalkan.


Kaidah ini yang memberikan legitimasi terhadap kebohongan putih.


Aristoteles itu hebat. Siapa yang berani berkata bahwa dia orang bodoh? Hanya saja dia dan pikirannya ada di tempat dan di saat dia hidup. Itu saja! Etika Nikomakea tidak cukup universal dalam banyak dimensi ruang dan waktu. Ini membuat rumusan aristoteles seperti batu apung yang berpori.


Fluida, dalam hal ini adalah kepentingan orang yang berkuasa, kaya, berpengaruh, bejat nan licik, bisa masuk dan memenuhi seluruh pori-pori dalam batu itu. Mengubah rumusan yang tampak kuat, ideal, kokoh dan keras menjadi sesak dan terkikis oleh fluida kotor kebohongan. Kebohongan untuk stabilisasi nasional, kebohongan untuk meraup keuntungan besar dengan memerah pihak yang ditargetkan untuk rugi tanpa rasa sakit, berbohong demi hal satu, dua, tiga, dan seterusnya.


Apakah tidak ada kebaikan sama sekali dalam berbohong?


Apakah memang dunia ini telah di-engineer sehingga kita dituntut untuk selalu berbohong?


Benarkah bahwa dunia ini menjadi tempat dimana kita mengakumulasi pahit sebanyak kita melakukan pengamanan fakta?


Sepertinya kita memang dilarang jujur sepenuhnya di dunia sintetis ini. Pekerjaan rumah yang berat untuk membuat dunia yang disitu tidak ada alasan bagi manusia untuk berbohong. Berat namun harus diselesaikan. Dunia harus menjadi tempat yang ideal dimana anda tak perlu berbohong untuk mengobati orang sakit, dunia dimana anda tak perlu berbohong untuk menghindari tanggung jawab atas dampak bencana, citra yang baik, bahkan lari dari vonis pengadilan.


Pada akhirnya, anda akan menemukan banyak pori-pori dari tulisan ini. Temukan seberapa banyak pori-pori itu dan sumbatlah dengan kebaikan. Dan teruntuk generasi muda, beranilah untuk berbuat baik walaupun harus lewat lorong sunyi kebohongan. Tak lama, hanya sementara hingga seluruh misi kalian tentang memperbaiki dunia yang lapuk ini berhasil. Setidaknya itu lebih bijaksana daripada berbuat buruk lewat aula sopan santun.

Comments


Subscribe Form

Thanks for submitting!

500 Terry Francois Street San Francisco, CA 94158

  • Instagram

©2020 by sawt. Proudly created with Wix.com

bottom of page